Smart Campaign “Go Pangan Local” pada Ibu PKK


Krisis Pangan Indonesia
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling hakiki. Menurut Undang-undang No. 7 tahun 1996 tentang pangan, pada pasal 1 ayat 17, menyebutkan “ ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau”. Pemenuhan kebutuhan pangan yang tercukupi sangat dinantikan oleh masyarakat Indonesia.
Permasalahan pangan mencakup beberapa aspek. Aspek pertama ialah aspek produksi dan ketersediaan pangan. Permasalahan aspek produksi diawali dengan ketidakcukupan produksi bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan penduduk. Hal ini disebabkan oleh laju pertumbuhan produksi pangan yang relatif lebih lambat dari pertumbuhan permintaannya (penduduk). Aspek kedua ialah aspek distribusi. Permasalahan di dalam pembangunan ketahanan pangan adalah distribusi pangan dari daerah sentra produksi ke konsumen di suatu wilayah. Adanya hambatan dalam distribusi akan menyebabkan terhambatnya konsumen untuk mendapatkan pangan. Aspek ketiga yang tidak kalah penting ialah aspek konsumsi.
Permasalahan aspek konsumsi bisa dilihat dari pangan di Indonesia, identik dengan makanan pokok berupa beras.  Adanya ketergantungan masyarakat Indonesia pada padi sebagai sumber karbohidrat utama menjadi salah satu faktor penghambat terciptanya ketahanan pangan nasional yang merupakan basis utama pengembangan sumber daya manusia berkualitas dan memperjuangkan ketahanan nasional. Padahal tanaman lain seperti jagung, sagu, ubi, dan singkong memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi. Dalam mengatasi hal ini, pemerintah telah melakukan kampanye diversifikasi pangan melalui acara talkshow, FGD, dan edukasi ke beberapa sekolah, serta gerakan kampanye Go Pangan Local yang dilaksanakan oleh Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI).

Rekayasa Sosial
Di tengah arus globalisasi dan munculnya sikap hidup individualis, membawa arah perubahan sosial dan pembangunan yang cenderung semakin tidak jelas, tidak ramah terhadap keberlanjutan sumberdaya dan lingkungan. Sejalan dengan itu, berbagai perubahan dan pembaharuan proses rekayasa sosial yang terus menerus diupayakan. Pembangunan berkelanjutan yang terus menerus digalakkan, sesuai konsep bottom line yang dicetus oleh Elkington (1994), harus mempertimbangkan terwujudnya keseimbangan proporsional antara aspek pertumbuhan ekonomi (profit), sosial (people), dan lingkungan ekologis (planet). Pembangunan berkelanjutan dalam implementasinya harus menggunakan berbagai stategi perubahan, antara lain proses rekayasa sosial. Sukses dan tidaknya pembangunan berkelanjutan tergantung respon dari masyarakat pelakunya.
Kondisi konsumsi pangan masyarakat yang mayoritas mengkonsumsi beras, dapat diberikan penyuluhan melalui gerakan rekayasa social agar masyarakat membuka diri untuk mengkonsumsi pangan lokal lainnya. Media rekayasa social harus mengena di dalam masyarakat, dan memliki efek langsung apabila masyarakat melakukan secara langsung. Pada esai ini, penulis membahas program rekayasa social agar masyarakat langsung teredukasi dan menerapkan esensi kampanye diversifikasi pangan lokal yang telah terlaksana. Dalam proses perubahan perilaku dan pola pikir manusia, dibutuhkan penyuluhan langsung kepada masyarakat. Penyuluhan secara langsung yang dilakukan kader pangan lokal akan membangkitkan kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi pangan lokal.

Workshop Pangan Lokal pada  Ibu PKK
Program rekayasa social yang penulis tawarkan berupa workshop pangan lokal pada ibu-ibu PKK. Mengapa Ibu-ibu PKK? Karena ibu merupakan pengatur dari menu makanan keluarga. Mindset dan keterampilan Ibu dalam memasak mempengaruhi pola konsumsi keluarga. Apabila di dalam mindset Ibu tertanam kesadaran alihfungsi pangan dari beras menuju pangan lokal, maka mau tidak mau anggota keluarga pun akan terpengaruhi. Keberhasilan Ibu dalam memasak dipengaruhi oleh pengalaman dan keterampilan memasak. Oleh karena itu kegiatan wokshop memasak pangan lokal dapat mengasah kemampuan Ibu dalam memasak.
Workshop memasak pangan lokal disasarkan pada perkumpulan arisan ibu-ibu PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga). Gerakan Ibu-ibu PKK yang dikoordinatori pada tingkat Pusat, Provinsi, Kabupaten, Kota, Kecamatan, Desa, hingga Kelurahan dapat dioptimalkan dengan workshop memasak pangan lokal. Gerakan PKK memiliki 10 program pokok sebagai berikut, (1) Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, (2) Gotong Royong, (3)Pangan, (4)Sandang, (5) Perumahan dan Tatalaksana Rumah Tangga, (6) Pendidikan dan Ketrampilan, (7) Kesehatan, (8) Pengembangan Kehidupan Berkoperasi, (9) Kelestarian Lingkungan Hidup, dan (10) Perencanaan Sehat. Dalam program pokok tersebut tercantum pangan dan pendidikan dan keterampilan sebagai program kerja dari PKK.
Pelaksanaan workshop yang berlandaskan pemberian edukasi dan keterampilan memasak bahan pangan menjadi olahan pangan yang lezat, dapat memikat ibu PKK untuk mempraktikkan langsung di rumah. Berdasarkan observasi penulis, dampak sosialisasi dan pertemuan yang dilksanakan Ibu PKK langsung diserap dan diedukasikan kembali oleh Ibu kepada anggota keluarga. Sehingga media kampanye yang efektif untuk merubah pola pikir masyarakat agar beralih ke pangan lokal bukan nasi dapat dimulai dari pemberian pelatihan memasak kepada juru masak pada tingkat rumah tangga (Ibu).

Kesimpulan
Penyelarasan pola piker masyarakat untuk beralih dari beras ke pangan lokal non beras dapat dilaksanakan melalui program rekayasa social. Rekayasa social yang melibatkan elemen Ibu PKK dinilai efektif untuk mempengaruhi anggota keluarga dalam transformasi bahan pokok pangan keluarga. Peranan Ibu sebagai juru masak rumah tangga harus ditingkatkan melalui workshop diversifikasi pangan lokal agar tercipta Ibu yang inovatif, edukatif, dan kreatif yang membiasakan keluarga memakan bahan pangan lokal.


 Daftar Pustaka

Elkington, J, 1994. Towards the Sustainable Corporation: Win-Win-Win Business Strategies for Sustainable Development. California Management Review, 36, 90-100.


Be Authentic and be yourself

 I know that is like the conventional journaling medium shifted to the digital footprint. In my assumption, there are few readers in this bl...