Lawatan Sejarah sebagai Ekspresi Nasionalisme Pemuda


Pemuda di Era Globalisasi
            Pemuda merupakan sosok yang senantiasa mengisi dan hadir dalam setiap etape sejarah serta menempati posisi yang khas. Pemuda memberi arti tersendiri bagi transformasi sejarah. Dapat disimak dengan seksama peran pemuda menjadi lokomotif pergerakan nasional semasa jaman kolonialisasi Belanda. Progesifitas angkatan muda bumi putera (khususnya yang terdidik) kala itu, demikian mengesankan. Pemuda merasa memiliki tanggung jawab penuh atas masa depan bangsanya.
Pendek kata, pemuda adalah nafas zaman, tumpuan masa depan bangsa yang kaya akan kritik, imajinasi, serta peran dalam setiap peristiwa yang terjadi di tengah perubahan masyarakat –agent of change [1] . Tidak bisa dipungkiri pemuda memegang peran penting dalam hampir setiap transformasi sosial dan perjuangan meraih cita-cita.
Pemuda yang hidup dalam suasana pergolakan kemerdekaan dan perjuangan, akan cenderung memiliki kreativitas tinggi dan keunggulan untuk melakukan perubahan atas berbagai kerumitan serta masalah yang dihadapi.  Akan tetapi bagi para pemuda yang hidup dalam nuansa nyaman, aman, dan tentram seperti kondisi sekarang, cenderung apatis, tidak banyak berbuat dan hanya berusaha mempertahankan situasi yang ada. Usaha serta kerja keras dalam melakukan perubahan yang lebih baik dan produktif cenderung semakin berkurang atau bahkan cenderung tidak kreatif sama sekali.
            Sementara itu, globalisasi sebagai hasil kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi telah menghilangkan batas-batas kenegaraan, yang memungkinkan setiap orang dapat berinteraksi dengan siapa saja dalam waktu singkat[2]. Globalisasi dapat diartikan sebagai proses penyebaran unsur-unsur baru, baik berupa informasi, pemikiran, gaya hidup, maupun teknologi secara mendunia. Arus globalisasi yang melanda seluruh dunia mempunyai dampak bagi sosial budaya suatu bangsa. Pada awalnya, globalisasi hanya dirasakan di kota-kota besar Indonesia. Namun dengan kemajuan teknologi, komunikasi, informasi dan transportasi globalisasi telah menyebar ke seluruh penjuru tanah air. Arus globalisasi tersebut membawa dampak positif dan negatif salahsatunya dalam bidang kebudayaan.
Di era globalisasi banyak pemuda memilih bergaul dengan kebudayaan barat yang cenderung mengarah pada pandangan homogenitas dan hegemoni budaya sehingga dianggap memiliki budaya lebih baik. Pergaulan tersebut dapat mengancam kedaulatan budaya Indonesia, salah satunya menimbulkan dampak negatif tumbuhnya sikap hidup hedonisme dan individualisme. Sikap hedonisme dan individualisme mengakibatkan banyak pemuda yang sibuk mengejar kesenangan diri tanpa peduli terhadap berbagai permasalahan yang terjadi disekitar mereka sehingga mereka cenderung bersikap apatis dan tidak banyak berbuat demi kepentingan kemajuan bangsa.
Selain dampak negatif, globalisasi juga memberikan dampak positif. Dampak positif  globalisasi sangatlah strategis untuk dimanfaatkan dalam menegakkan kedaulatan budaya. Dengan kemajuan teknologi dapat mengenalkankan kebudayaan Indonesia kepada seluruh penduduk Indonesia bahkan hingga ke mancanegara secara praktis dan hemat biaya, dalam hal ini kita dapat memanfaatkan internet sebagai media pengajaran budaya. Untuk menghadapi dampak negatif globalisasi tidaklah sulit, yaitu dengan menyikapi globalisasi secara bijak. Akan tetapi upaya tersebut haruslah didukung dengan semangat mempelajari kebudayaan sendiri karena tanpa semangat tersebutlah tidak akan tercipta suatu  pengetahuan  kebudayaan Indonesia di masyarakat, sehingga banyak masyarakat Indonesia yang lupa dengan budayanya sendiri.
Di era globalisasi peran pemuda sebagai penyaring budaya bagi diri sendiri sangatlah dominan. Mereka harus memiliki  karakter ke Indonesian, tetapi tetap go international. Hal ini sangat memudahkan lunturnya budaya bangsa Indonesia, mereka tidak begitu mengenali kebudayaan sendiri. Akan tetapi bukan hanya kebudayaan saja yag harus diperhatikan, melainkan juga rasa nasionalisme dalam diri pemuda.

Pemuda dan Nasionalisme
Indonesia mempunyai kebudayaan nasional yang memiliki karakteristik tersendiri sehingga menciptakan jatidiri dan identitas bangsa Indonesia yang kuat. Kebudayaan nasional Indonesia adalah sumbangan beberapa kebudayaan lokal yang tergabung menjadi satu. Salahsatu contoh kebudayaan nasional adalah batik, batik di Indonesia memiliki motif yang beragam, mulai dari batik Pekalongan hingga batik Papua. Kebudayaan nasional berupa batik merupakan gabungan seluruh kebudayaan lokal yang memiliki karakteristik yang sama sehingga menciptakan kebudayaan nasional.
Di sisi lain generasi muda adalah penerus dan pewaris negara. Baik buruknya bangsa ke depan tergantung bagaimana sikap generasi mudanya. Apakah generasi muda memiliki kepribadian yang kokoh, semangat nasionalisme dan karakter kuat untuk membangun bangsa dan negara, atau sebaliknya generasi yang bersikap apatis, tidak kreatif serta daya juang yang rendah. Semua alternatif sikap generasi muda akan menentukan masa depan bangsa dan negara.
Peran generasi muda dalam konteks perjuangan dan pembangunan sejarah bangsa Indonesia sangatlah dominan dan memegang peranan sentral, baik perjuangan yang dilakukan secara fisik dan diplomasi maupun perjuangan melalui organisasi sosial dan politik serta melalui kegiatan-kegiatan intelektual [3]. Perjuangan tersebut merupakan ladang tumbuh suburnya heroisme pemuda yang melahirkan semangat nasionalisme dan patriotisme.
Perjuangan merintis kemerdekaan Indonesia sebagai sebuah negara yang berdaulat, bukanlah sekadar ikrar, tetapi harus meresapi setiap nurani generasi muda dan rakyat Indonesia. Untuk itu perlu ditingkatkan gerakan yang nyata dalam mewujudkan kedaulatan negara Indonesia. Dengan memperhatikan kecenderungan dan sikap generasi muda pada era globalisasi, maka sudah saatnya untuk menumbuhkan kembali jiwa nasionalisme dan patriotisme generasi muda untuk membangun Indonesia.
Semangat juang, jiwa nasionalisme dan patriotisme, para pahlawan kemerdekaan sudah seharusnya menjadi tauladan bagi seluruh warga Indonesia, khususnya para pemuda. Namun tentu saja wujud nasionalisme kita berbeda dengan nasionalisme para pejuang kemerdekaan. Nasionalisme para pejuang kemerdekaan adalah bagaimana merebut kemerdekaan. Sementara bagi kita, nasionalisme adalah bagaimana mengisi dan mempertahankan kemerdekaan itu.
Untuk menumbuh kembangkan jiwa nasionalisme dalam diri pemuda, dapat melaui berbagai cara, salahsatunya Lawatan Sejarah Regional yang diselenggarakan Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta. Dengan tema Merajut Simpul-Simpul Ke-Indonesiaan Melalui Lawatan Sejarah dengan sub-tema Menelusuri Jejak Masa Kebangkitan-Pergerakan Nasional Guna Memperkokoh Rasa Nasionalisme.
Kegiatan Lawatan Sejarah mengunjungi jejak sejarah peninggalan masa kebangkitan dan pergerakan nasional yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu: Makam dr. Wahidin Sudiro Husodo dan Makam dr. Radjiman Wediodiningrat, Ndalem Jayadipuran, Istana dan Perpustakaan Mangkunegaran, Monumen Pers Surakarta, Istana Gebang (Rumah Bung Karno), dan Makam Soekarno di Blitar Jawa Timur. Peserta Lawatan Sejarah Regional Tahun 2014 sebelum mengunjungi objek yang sudah ditentukan, akan mendapat pembekalan materi dari 2 (dua)  orang narasumber yang berasal dari akademisi.
Adapun tujuan dari Kegiatan Lawatan Sejarah Regional tersebut adalah :
  • Menggali berbagai informasi kesejarahan yang ada di objek-objek lawatan sejarah.
  • Memperkenalkan objek-objek sejarah guna menumbuhkan sikap gemar melestarikan, melindungi dan memelihara peninggalan sejarah yang masih ada dan tumbuh dalam masyarakat.
  • Meningkatkan wawasan kesejarahan kepada generasi muda, agar para generasi muda mencintai dan memahami sejarah bangsanya, sehingga sikap dan perilakunya selalu berdasar pada nilai-nilai sejarah, seperti cinta tanah air, semangat persatuan dan kesatuan, keberagaman, serta solidaritas.
  • Membuka cakrawala yang luas kepada generasi muda tentang nasionalisme Indonesia dan simpul-simpul yang merajut ke-Indonesiaan untuk memperkuat integrasi bangsa.
  • Mengenalkan dan mempraktekkan pembelajaran sejarah yang edukatif, inspiratif, dan rekreatif sehingga pembelajaran sejarah menjadi menarik dan tidak membosankan, yang selanjutnya dapat meningkatkan daya nalar dan daya kritis siswa terhadap fenomena yang ada di lingkungan sekitar.

            Selain di tahun 2014, kegiatan lawatan sejarah juga terlaksana pada 2013, 2015, 2016. Ada banyak alasan untuk mengatakan mengapa kegiatan Lawatan Sejarah dengan tema maritim ini penting. Salah satunya—berdasarkan kacamata pengajar sejarah—kegiatan ini dapat dapat memperluas cakrawala tentang ilmu sejarah yang tidak harus berkutat pada perang, orang atau peristiwa besar, tragedi maupun perebutan kekuasaan semata. Sejarah juga melingkupi berbagai aktifitas manusiawi seperti urusan ekonomi; masalah sosial; persoalan kesehatan; isu kebudayaan; dan sebagainya[4].
            Kegiatan ini menghasilkan output yang baik, karena kegiatan lawatan sejarah mempelajari kesejarahan Indonesia. Kunjungan ke makam Makam dr. Wahidin Sudiro Husodo dan Makam dr. Radjiman Wediodiningrat merupakan momen yang berharga. Beliau merupakan pencetus kebangkitan nasional di Indonesia. Dengan lawatan ini, kita mengingat kembali perjalanan Indonesia membentuk kader kebangkitan nasional melalui organisasi Budi Utomo. Dengan berdirinya organisasi pergerakan nasional Budi Utomo, memprakarsai munculnya organisasi perjuangan lainnya seperti Serikat Dagang Islam, Muhammadiyah, dan lain-lain. Dimana organisasi tersebut berjuang memperebutkan kemerdekaan sesuai porsinya masing-masing.
Ndalem Jayadipuran merupakan tempat diadakannya Kongres Perempuan Indonesia I yang bertujuan mempererat tali persaudaraan diantara kalangan perempuan. Kongres ini mengundang perkumpulan-perkumpulan yang tersebar di Indonesia. Kongres tersebut diharapkan dapat menghasilkan buah pikir untuk memajukan kaum perempuan Indonesia. Kongres Perempuan Indonesia I yang dihadiri perwakilan dari perkumpulan-perkumpulan perempuan, antara lain Wanita Utomo, Aisijah, Poetri Indonesia, Wanita Katholik, Wanita Taman Siswa, Sarekat Islam Wanita, dan Jong Islamieten Bond Dames Afdeling. Kongres perempuan I diprakarsai oleh inisiatif R.A. Soekonto, R.A. Soejatin, dan Nyi Hadjar Dewantara. Kongres Perempuan Indonesia I salahsatunya menghasilkan federasi Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI) di mana PPPI merupakan cikal bakal gerakan sosial yang diprakarsai perempuan.
 Istana dan Perpustakaan Mangkunegaran menggambarkan kejayaan Raja Mangkunegaran dalam memerintah, baik Mangkunegaran I, II, III, IV, V, VI, VII, VIII maupun IX beliau merupakan tokoh inspiratif yang berani melawan penjajah. Selain itu, Raja Mangkunegaran IV juga memikirkan nasib rakyatnya agar menjadi masyarakat yang berilmu dengan membangun Perpustakaan Mangkunegaran. Proses modernisasi di Kraton telah diterapkan oleh Mangkunegaran VII dengan menerapkan nilai kedisplinan dikehidupan sehari-hari.
Monumen Pers Surakarta berisi benda pers yang menjadi saksi bisu perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pers sangat berperan dalam memperebutkan kemerdekaan, sebagaimana Muhammad TWH mengatakan bahwa ada tiga unsur yang sangat diperlukan di awal perang kemerdekaan yaitu : dengan peluru, diplomasi, dan pers[5]. Salah satu tokoh pers yang diceritakan di Monumen Pers adalah Hendro Subroto sang wartawan perang senior yang tertembak saat meliput pertempuran di palagan Fatularan. Museum pers menyajikan diorama perkembangan pers di Indonesia. Mulai dari diorama jaman pra sejarah hingga perkembangan pers di nasa reformasi. Di Monumen Pers juga ditemui pemancar radio “RRI Kambing” yang digunakan untuk mengumandangkan semangat perjuangan serta menghindari serangan musuh.
Istana Gebang (Rumah Bung Karno) menceritakan kiprah Soekarno sebagai pemuda Indonesia yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Peran aktif Ir. Soekarno untuk kemerdekaan Indonesia beliau rintis dengan mengikuti organisasi kepemudaan bernama Tri Koro Darmo hingga jalan berliku yang ia lewati untuk memperjuangkan kemerdekaan dengan dipenjara dibeberapa tempat. Ir. Soekarno merupakan sosok pemuda yang menjunjung jiwa nasionalisme, beliau sang Proklamator yang menciptakan perubahan. Karakteristik Ir. Soekarno yang karismatik telah membius pemuda dan masyarakat Indonesia untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan. Sebagai pemuda, kita harus menjadi pemuda yang menciptakan perubahan dan berpartisipasi aktif dalam memajukan Indonesia di kancah internasional.
Lawatan sejarah regional berakhir di makam Ir. Soekarno, Blitar. Ziarah ke makam pahlawan merupakan penerapan jiwa nasionalisme dan wujud kita menghormati pahlawan yang telah gugur. Makna historis yang bisa kita ambil adala dengan mengenang jiwa kepahlawanan beliau, akan meningkatkan semangat juang kita dalam membangun Indonesia dengan cara kita sendiri. Semangat juang tersebut secara tidak langsung dilandasi oleh jiwa nasionalisme.

Penutup
            Lawatan sejarah merupakan kegiatan positif yang mengembangkan jiwa nasionalisme dalam diri pemuda. Dengan mengunjungi obyek bersejarah Indonesia membangkitkan jiwa nasionalisme dalam diri kita. Sebagai pemuda penerus bangsa, kita harus mensinergikan segala kemampuan kita untuk membangun Indonesia. Karena di benak kitalah martabat dan masa depan Indonesia dipertaruhkan.







[1] Hamengku Buwono X, Terms of References “Temu Konsultasi & Sosialisasi RUU tentang Kepemudaa”, Yogyakarta, 6 Desember 2007
[2] Warsono, Nasionalisme Generasi Muda (Studi Moral Bangsa Menghadapi Globalisasi). Laporan Penelitian Dikti Perpustakaa. Jakarta: Universitas Indonesia.doc, 2011.
[3] Akhmad Elvian, Peran serta Generasi Muda dalam Pembangunan di Daerah, Diakses: http://www.tampukpinang.info/artikel/216-artikel.html 2011
[4] Uji Nugroho W., Arti Penting Pesisir dalam Mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia (dalam Bunga Rampai Lawatan Sejarah Regional Menelusuri Jejak Sejarahh Maritim di Pantai Utara Jawa Tengah, Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNP) 2016.
[5] Muhammad TWH, Perjuangan Tiga Komponen untuk Kemerdekaan, Medan: Yayasan Pelestarian Fakta Perjuangan Kemerdekaan RI 2004.

No comments:

Post a Comment

Be Authentic and be yourself

 I know that is like the conventional journaling medium shifted to the digital footprint. In my assumption, there are few readers in this bl...